Tetak Palak
Sabtu, 08 November 2008
Oleh MULYADI J. AMALIK bin ABDUL MALIK bin SOLI
PADA setiap rencana pembangunan pasti terbentuk dua opini besar dalam masyarakat. Pembanguanan di sini tak berarti selalu bersifat fisik seumpama mengaspal jalan raya jurusan ke dusun-dusun, ngecet Jembatan Ampera atau ngeruk Sungai Musi, atau mendirikan gedung bertingkat untuk pedagang kaki lima dan semacamnya. Membuat klub sepakbola profesional untuk menampung bakat sepak-menyepak penduduk lokal atau mengampanyekan tempoyak dan kelempang panggang pada investor yang cinta Tanah Air adalah juga pembangunan.
Kesatu, pandangan pemerintah yang biasanya berbau kebaikan untuk kepentingan umum. Pemerintah diasosiasikan sebagai malaikat pembawa kabar surga. Tak ada iblis yang bisa menggodanya. Pembangunan ialah jalan suci.
Kedua, pandangan masyarakat yang biasanya berbau mistik karena tak pernah bisa menebak piramida korban di balik pembangunan, seperti soal adanya korupsi atau pihak tertentu yang lebih diuntungkan. Masyarakat bagaikan barisan pengunjung bioskop yang sedang membeli tiket di pintu masuk sembari berkhayal memperoleh adegan mesra dari skenario film yang mereka tak tahu akhir ceritanya.
Bila pembangunan berjalan mulus dan masyarakat merasakan langsung manfaatnya dalam jangka panjang, maka pemerintah dimistifikasi sebagai juru selamat. Masyarakat akan kehilangan sikap kritis atas pemerintah bila rasa haru, dan syukur mereka dimunculkan secara berlebihan. Pemerintah bisa memanfaatkan peluang ini untuk membangun citranya menjadi semakin positif dan bertanggung jawab, tetapi bisa pula mengeksploitasinya untuk membunuh partisipasi-demokratis masyarakat. Rasionalisasi atas pembangunan harus dilakukan secara dua arah antara pemerintah dan masyarakat agar komunikasi menjadi sehat.
Bila pembangunan gagal total dan masyarakat tidak bisa melawan, maka mistifikasi terhadap pemerintah muncul dalam bentuk parodi atau cerita-cerita seram yang menakutkan. Masyarakat akan semakin kehilangan keberanian dan pemerintah bisa memanfaatkan peluang ini untuk mempertajam cakar otoritasnya. Tokoh karismatik, baik di kalangan masyarakat atau di pemerintahan, bisa menggunakan peluang ini untuk memperkuat ketokohannya. Dalam situasi ini biasanya juga muncul sejumlah martir yang dapat diasosiasikan sebagai pahlawan masyarakat sekaligus akan bergentayangan sejumlah penunggang yang mengambil untung secara diam-diam. Rasionalisasi atas situasi ini memerlukan media dialog yang kuat, berpihak, dan independen, seperti paguyuban warga, forum adat, kumpulan pengajian, obrolan bebas di warung kopi, kelompok-kelompok kesenian rakyat, lembaga swadaya masyarakat, media massa, atau organisasi-organisasi sosial-kemasyarakatan dan sejenisnya.
Berangkat dari narasi di atas, kita bisa menghimpun berbagai mitos berupa cerita seram atau parodi dan sekawanannya yang berkembang di tengah masyarakat untuk menilai daya kritis atau model resistensi rakyat terhadap pembangunan. Rumor yang berkembang di masyarakat dalam waktu yang lama biasanya akan menjadi pengetahuan umum dan sangat mempengaruhi kesadaran rasional masyarakat menjadi mistis. Berpikir mistis atau mitos berarti berpikir dari yang masuk akal menjadi abstrak, sedangkan berpikir rasional berarti berpikir dari yang abstrak menjadi logis.
Tetak Palak
Waktu masih kanak-kanak di dusun, setiap akan pergi bermain, aku selalu mendapat peringatan dari orangtua agar tidak bermain jauh-jauh dari rumah. ”Nanti ada orang tetak palak!” pesan orangtua. Ada pula orangtua yang mengingatkan anak-anaknya agar menolak tegas bila ada ajakan seseorang yang membawa mobil boks bergambar gunting. Padahal, di dusun ketika itu sekitar tahun 1970-an, sama sekali tidak ada penduduk yang memiliki mobil pribadi. Kalaupun ada, pastilah mobil itu jenis angkutan penumpang atau truk pengangkut barang.
Rumor tersebut bergulir dari mulut ke mulut sehingga menjadi kepercayaan kolektif seakan-akan hal itu memang faktual. Efek dari itu, setiap orang mengalami kecemasan terhadap orang asing yang datang ke dusun kami. Ada resistensi atas sesuatu atau sesosok hal yang sesungguhnya abstrak. Jangankan membayangkan bentuk gunting penetak kepala yang pastilah berukuran raksasa, melihat lekuk-lekuk badan mobil pun kiranya jarang dialami penduduk. Namun, fantasi akan hal itu sudah memadati kepala setiap orang dusun sehingga celakalah bagi siapapun yang tidak waspada, lengah, atau egois dari sistem keamanan bersama di dusun.
Tetak palak artinya potong kepala. Rumornya, pekerjaan itu sengaja dilakukan oleh orang kota (Palembang) yang datang khusus ke dusun-dusun. Sasarannya anak-anak dan remaja. Mungkin karena gampang dibujuk dan dilumpuhkan. Kepala-kepala yang sudah dipotong diangkut ke Palembang, dikumpulkan di satu tempat untuk dijadikan material ¡¨proyek¡¨. Makna proyek di sini ialah pembangunan fisik. Gambaran yang sering dicontohkan orangtua ialah proyek Jembatan Ampera. Dikatakan bahwa dalam beton-beton tiang dan badan jalan di Jembatan Ampera itulah potong-potongan kepala anak-anak itu dimasukkan.
Di kepala anak-anak pun terlintas betapa proyek atau pembangunan itu sangat mengerikan, berdarah-darah, dan penuh dengan tumbal berupa jiwa manusia. Bila kita tafsir berdasarkan konteks sosial-politik tahun 1960-an hingga 1980-an, ada dua resistensi masyarakat dusun di balik rumor tetak palak ini. Kesatu, penolakan terhadap simbol kota (seperti mobil boks, gunting raksasa, dan Jembatan Ampera) yang dibayangkan kejam atau pembunuh. Kedua, penolakan terhadap pembangunan (atau proyek) yang dibayangkan sebagai pemakan tumbal berupa kepala manusia.
Kasus ini bisa disimpulkan sebagai proses pengetahuan masyarakat yang dibangun berdasarkan mitos atau mistifikasi. Korban pembangunan atau modernisasi atau kotanisasi atas dusun ialah fakta yang sesungguhnya, dan masyarakat dusun --setidaknya di dusunku-- melakukan resintensi melalui kesadaran mistis.
Dak Kalo Kalangan
Ungkapan dak kalo kalangan merupakan ejekan orang kota terhadap orang dusun yang kurang pergaulan alias kuper. Orang kuper biasanya diasosiasikan kampungan atau memang betul-betul baru datang dari kampung untuk tinggal di kota atau orang yang sudah lama hidup di kota, tetapi tetap bergaya kampung alias lugu atau apa adanya (naif). Hal yang sesungguhnya dipertentangkan ialah gaya hidup modern yang diidentikkan secara sembrono pada masyarakat kota dan gaya hidup tradisional yang dilekatkan secara kasar pada masyarakat dusun. Nyatanya, takaran gaya hidup modern sendiri sebetulnya kabur karena lebih bersifat artifisial atau komersil, bukan pada nilai peradaban dan kemanusiaan. Sementara itu, gaya hidup tradisional yang banyak mengandung kearifan terus ditimang-timang dalam gerakan turisisme pemerintah (atau wakil orang kota) tanpa rasa malu.
Ejekan dak kalo kalangan ini tidak khas berlaku di kalangan masyarakat kota. Di kalangan masyarakat di dusunku justru sering muncul ungkapan ejekan ini. Biasanya ejekan tersebut terlontar oleh orang yang sudah sering bepergian bolak-balik dari dusun ke kota (Palembang) terhadap orang dusun yang tidak tahu gaya kehidupan modern yang berkembang di kota. Setidaknya, gaya modern itu ialah menurut ukuran subyektif orang yang biasa pulang-pergi dari dusun ke kota tersebut.
Dak kalo kalangan sama artinya dengan ”tidak pernah ke pasar”. Kata pasar yang dimaksud di sini ialah acara pesta atau keramaian yang tersambung erat dengan penampilan seseorang dalam pesta tersebut. Kalau kita telusuri dari dusun ke dusun di seluruh wilayah Sumatera Selatan, pesta atau keramain tersebut memang sudah menjadi tradisi masyarakat. Pernikahan, syukuran kelahiran anak, khitanan anak, peringatan hari-hari besar nasional atau hari-hari besar Islam, dan sekawanannya merupakan media pesta tersebut. Musik dangdut --dulu musik tanjidor atau rebana-- yang sekarang diminimalkan dengan organ tunggal adalah salah satu bentuk hiburan yang digelar. Di situlah acara joged dan nyawir dipertunjukkan oleh setiap hadirin, selain menjadi ajang perkenalan dan persaingan para muda-mudi.
Apa yang dapat dilihat dari keseluruhan pesta itu tak lain ialah penampilan dalam rupa gaya berpakaian, gaya rambut, jenis dan model pakaian atau sepatu, serta seberapa tebal jumlah rupiah yang ada dalam dompet. Poin ini bisa disimpulkan sebagai proses pengetahuan masyarakat yang dibangun berdasarkan kesadaran mistifikasi (mistis atau semu). Rasionalisasi atas tindakan bergaya hidup modern atau komersil atau konsumsi tinggi sesungguhnya bukan pada penampilan di pesta (atau lah biaso kalangan), melainkan kerja keras dengan ilmu dan keterampilan yang spesialis sebagaimana orang-orang di negara industri.
Ujung ceritonyo, masih banyak masalah-masalah serupa di atas yang berkembang subur di masyarakat dusun dan kota yang menarik dianalisis. Mungkin, dalam kehidupan sehari-hari, kita pun merupakan bagian dari suatu rumor atau mitos dan rasionalisasi tindakan tertentu sehingga pengetahuan atau kesadaran kita terus bertumpang-tindih dan berputar-putar antara mistis, kritis, dan rasional. Bisa jadi dalam hidup sehari-hari kita di dusun atau di kota sesungguhnya sedang menghimpun mitos dan hal itu tidaklah berarti buruk atau sama sekali bodoh. Sebetulnya, kita sedang membangun kreasi dan imajinasi dengan mitos itu. [*]